Indonesia beruntung memiliki lembaga pendidikan yang menyejarah seperti
pesantren. Apalagi rekam jejak pesantren mendidik masyarakat sudah
teruji zaman. Dari rahim pesantren telah lahir beragam tokoh cerdik
cendikia. Pesantren tak hanya berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-based curriculum) tetapi juga kurikulum yang berbasis pada persoalan masyarakat (community-based curriculum)
(Suyata dalam Zuhri, 2016).
Hal tersebut memang menjadi salah satu kekhasan pesantren. Pendidikan yang diberikan di pesantren tak menjauhkan santri dari realitas keseharian. Jika merujuk pada konteks pembelajaran modern, apa yang dilakukan pesantren adalah bagian dari pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Hal tersebut memang menjadi salah satu kekhasan pesantren. Pendidikan yang diberikan di pesantren tak menjauhkan santri dari realitas keseharian. Jika merujuk pada konteks pembelajaran modern, apa yang dilakukan pesantren adalah bagian dari pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Studi
yang dilakukan oleh Anin Nurhati (2010) misalnya mengungkap peran
pesantren dalam memberikan materi kewirausahaan kepada para santrinya
agar mereka memiliki kecakapan hidup seperti kemampuan beternak, budi
daya perikanan, pengolahan obat-obatan, perdagangan, perbengkelan,
otomotif dan permebelan (Zuhri, 2010). Beragam kurikulum tersebut tentu
menjadi kekuatan bagi pesantren untuk menjawab tantangan zaman. Ada
kesadaran bahwa pemahaman teks-teks keagamaan semata tanpa penguasaan
keilmuan yang lain akan menyebabkan santri semakin tertinggal.
Pesantren
tak pernah terjebak pada perubahan kurikulum yang terjadi karena
berubahnya menteri. Pesantren senantiasa konsisten, karena tujuan
awalnya adalah mendidik santri menjadi individu-individu yang bermanfaat
bagi sesama. Maka pesantren tak terjebak pada pola-pola pendidikan
formal yang berbasis nilai-nilai kuantitatif. Tak ada sertifikasi untuk
para kiai, karena gelar kiai, ulama, ajengan, ataupun ustadz/ustadzah
merupakan rekognisi yang diberikan oleh masyarakat. Penyematan karena
kebermanfaatan mereka untuk umat. Bukan karena kepemilikan ijazah
tertentu.
Keragaman tipikal lulusan pesantren membuktikan bahwa
pesantren sesungguhnya sudah memberikan kontribusi pada penciptaan
sumber daya manusia yang berkualitas. Pilihan profesi, pilihan politik,
pilihan sudut pandang tafsir keagamaan dari lulusan pesantren menjadi
warna tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meskipun
demikian, kemampuan pesantren mengkreasi intelektual-intelektual Muslim
yang memiliki kapasitas mumpuni sehingga menjadi cahaya bagi umat harus
tetap dijaga. Para intelektual itulah yang akan senantiasa memberikan
pencerahan dan pencerdaskan bagi umat. Intelektual yang memberikan
kedamaian dan menebarkan ajaran serta ujaran penuh kasih. Kita tentu
merindukan almarhum Gus Dur dan Cak Nur, dua tokoh bangsa yang
senantiasa berjuang untuk perdamaian, kesetaraan, dan demokrasi. Kita
juga melihat kebesaran hati Gus Mus, yang meskipun dicaci oleh mereka
yang membencinya, tetap memperlihatkan sifat welas asih dan pemaaf. Gus
Mus telah memberikan teladan bagaimana implementasi akhlaqul karimah
yang dicontontohkan Rasullah SAW.
Jika saat ini isu mengenai
pentingnya pendidikan karakter kembali didengungkan. Sesungguhnya,
proses pendidikan pesantren justru sejak awal telah memberikan ruang
besar bagi penguatan karakter para santrinya. Pesantren memang memiliki
fokus agar santri-santrinya menjadi uswatun hasanah, teladan kebaikan, yang mampu memberikan kebermanfaatan bagi umat.
Para
santri mendapatkan tempaan setiap waktu ketika mengenyam pendidikan
pesantren. Satu hari penuh para santri berada dalam situasi belajar.
Maka sesungguhnya, tak perlu lagi ada kebijakan full day school. Pemerintah hanya perlu mengoptimalkan pesantren-pesantren yang ada di berbagai penjuru tanah air.
Proses
pendidikan di pesantren memang menyiapkan para santri agar mampu
memberikan kontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Dalam konteks
ini, kiai dan para ustadz/ustadzah di pesantren memegang peran penting
dalam konstruksi karakter para santri. Mereka menjadi role model bagi para santri yang diasuhnya.
Keberhasilan
pesantren membentuk karakter santri sangat bergantung pada keteladanan
para alim di pesantren. Keteladanan tersebut tak hanya diberikan
melalui ceramah-ceramah semata, namun juga melalu tindakan nyata.
Kelebihan pesantren mendidik santri terletak pada pembiasaan dan praktik
keseharian. Sehingga, kepatuhan santri terhadap aturan tak sekedar
karena takut dihukum. Rasa malu jika tak patuh dan disiplin terbentuk
karena adanya keteladanan dari para kiai ataupun ustadz/ustadzah.
Di
sisi lain pesantren juga memberikan pembelajaran kontekstual kepada
para santrinya. materi-materi yang diberikan adalah hal-hal yang relevan
yang akan para santri gunakan di masa depan. missal saja, banyak
pesantren memberikan penguatan pelajaran bahasa asing kepada santri
karena menyadari bahwa penguasaan bahasa yang mumpuni merupakan
keniscayaan di era global.
Selain itu, pelatihan mubaligh yang diselenggarakan di pesantren ditujukan agar para santri memiliki public speaking yang
baik. Karena para santri harus mampu menyampaikan gagasan-gagasannya
kepada masyarakat secara runut dan terstruktur. Menyampaikan pengetahuan
keagamaannya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dipahami.
Beberapa
pesantren juga rutin menyelenggarakan program Bahtsul Masail. Kegiatan
tersebut menjadi penting karena membiasakan para santri mendialogkan
beragam permasalahan dengan merujuk beragam referensi. Kebiasaan
berdiskusi sangatlah penting agar para santri tidak alergi terhadap
perbedaan pandangan yang ada di masyarakat kelak. Memperkaya perspektif
mereka memandang suatu persoalan. Dan pada akhirnya membuat mereka
menyadari sepenuh hati bahwa perbedaan tafsir atas teks keagamaan
merupakan hal biasa dan akan mereka hadapi di masyarakat.
Dan
yang paling penting, pesantren memberikan para santri untuk meningkatkan
kemampuan dalam mengelola dirinya, manajemen diri. Proses tersebut
merupakan bagian dari pendewasaan diri. Pola pendidikan di pesantren
menyediakan mekanisme panjang agar santri memiliki kemampuan manajemen
diri tersebut.
Keberhasilan mengelola diri sendiri merupakan
salah satu kunci penting keberhasilan mereka di masa mendatang. Akan
tetapi, meskipun pesantren memberikan segala ruang dan mekanisme
pengaderan yang luar biasa, jika santri tak mampu mengoptimalkan hal-hal
tersebut, tidak akan memiliki pengaruh kepada diri mereka. Keinginan
kuat dari diri sendiri tetap menjadi aspek yang paling penting.
Oleh
sebab itu, menjadi harapan bersama agar santri lulusan pesantren
memiliki kesadaran penuh untuk memberikan kinerja nyata bagi
kemaslahatan Indonesia dan berkontribusi untuk penciptaan Islam yang
rahmatan lil alamin. Memberikan kedamaian bagi bangsa dan negara.
0 komentar:
Posting Komentar