Pages

Minggu, 05 Februari 2017

Islam dan Gender

Oleh: KH. Husein Muhammad

I. Pendahuluan
Agama dan keadilan gender dewasa ini menjadi salah satu isu penting yang masih terus diperdebatkan di banyak kalangan termasuk agamawan sendiri. Pada tataran realitas social, kecenderungan umum/arus utama (mainstream) tentang relasi gender masih memperlihatkan pandangan-pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan. 

Meskipun modernitas telah menciptakan perubahan dalam banyak tetapi norma-norma social yang masih hidup dan diberlakukan hingga dewasa ini masih tetap menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik dan subordinat.Kewajiban utama perempuan adalah mengasuh, mendidik anak, kerja-kerja reproduktif lainnya, mengurus rumah tangga dan terutama melayani suami.Tegasnya, perempuan adalah makhluk domestic.Sementara laki-laki bertugas sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah dan menentukan hampir segalanya.Laki-laki adalajh superior dan makhluk public-politik. Posisi dan relasi laki-laki  perempuan/suami-isteri seperti ini masih  diyakini sebagai ketentuan baku, norma yang tetap dan tidak boleh dirubah sepanjang masa. 
Kenyataan relasi jender yang diskriminatif ini bukan hanya menjadi kenyataan di dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga dialami oleh bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia. Berbagai perundang-undangan yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan di sana masih menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Meskipun telah terdapat berbagai kemajuan, tetapi kaum perempuan belum dianggap setara dan kerena itu belum memperoleh hak-hak kemanusiaannya sebagaimana kaum laki-laki.

Pertanyaan mendasar yang sering diajukan berkaitan dengan isu ini adalah apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak social, budaya dan politik mereka?. Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi : apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik, misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik, misalnya mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.

II. Kontroversi
Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan, paling tidak dua aliran besar.Aliran pertama berpendapat bahwa posisi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki adalah subordinat. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki.Perempuan inferior dan laki-laki superior. Posisi subordinat perempuan ini diyakini agamawan sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh diubah. Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus dibedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/politik. Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki.Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran maupun hadits Nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat.Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Tuhan, dan keputusan Tuhan adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata.Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering  menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim/radikal.

Aliran kedua berpendapat bahwa perempuan mempunyai status dan posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut aliran ini memiliki potensi-potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki,baik dari aspek intelektual/akal, fisik maupun aspek mental-spiritual. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki signifikansi yang meniscayakan kita untuk membedakan mereka dalam mengekspresikan hak dan kewajiban masing-masing di depan hukum dan aktifitas social yang lain. Atas dasar pikiran ini, aliran ini berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas kehidupan mereka baik dalam ranah privat maupun publik. Aliran ini dianut oleh sangat sedikit ulama Islam, dan kita mungkin menyeburnya sebagai aliran progresif.  

Adalah menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argument keagamaan dari sumber yang sama, yaitu al Qur-an dan Hadits Nabi, dua sumber paling otoritatif dalam system keagamaan kaum muslimin. Kedua sumber Islam ini memang menyediakan teks-teks yang menjelaskan tentang kedudukan manusia yang setara di hadapan Tuhan, penghormatan martabat manusia, penegakan keadilan  dan sebagainya di satu sisi, dan teks-teks yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, keunggulan dan otoritas laki-laki atas perempuan, kelemahan akal dan agama perempuan, dan sebagainya, di sisi yang lain. Mengacu pada dua sumber utama ini, maka produk-produk pemikiran ulama Islam juga memperlihatkan pandangan-pandangan yang ambigu. Ulama Islam terkemuka; Imam Jalal al Din al Suyuti, dalam bukunya “Al Asybah wa al Nazhair” menyebut sekitar 100 lebih perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah ringkasan atau rangkuman Suyuti yang diambil dari buku-buku fiqh lain.  

III.     Tafsir dan Tawil
       Perbedaan pandangan ulama Islam dalam menyikapi isu jender, bahkan isu-isu ketimpangan relasi yang lain, terjadi antara lain akibat perbedaan mereka dalam cara memahami teks-teks suci. Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan ; “Al Quran adalah teks-teks suci yang tidak bisa bicara sendiri. Yang bicara adalah orang”.Ini mengandung arti bahwa teks-teks hanya dapat dimengerti atau dipahami artinya oleh manusia yang hidup dalam ruang dan waktunya masing-masing. 

          Cara memahami teks dalam tradisi Islam dikenal dengan dua istilah: “Tafsir” dan “Tawil”. Dua kata ini sering dimaknai secara sama, yaitu menjelaskan, mengungkapkan atau menerangkan sesuatu. Akan tetapi secara terminologis keduanya berbeda. Secara ringkas dapat dikemukakan bahwaTafsir lebih berkaitan dengan “riwayat”, nukilan atau sumber berita, sementara Tawil berkaitan dengan “dirayah” (pemahaman), substansi berita. Abu Nasr al Qusyairi mengatakan :”dalam tafsir yang diutamakan adalah mengutip dan mendengar, sedangkan dalam tawil yang diutamakan adalah mengeksplorasi pengetahuan (ijtihad)”. Dalam tafsir pemaknaan tekstual/literal lebih diperhatikan dan kurang memberikan perhatian pada makna alegoris atau metaforis.Dalam teori mereka jika sebuah kata dapat dimaknai secara literal dan metaphor, maka yang harus diutamakan adalah arti literal. Sementara dalam Tawil teks tidak semata dilihat pada arti literalnya, melainkan menganalisis makna  substansif, pada maksud dan tujuannya. Di sini tampak bahwa tawil menghendaki lebih dari sekedar memahami teks dari makna tekstualnya, melainkan pada logika dan filsafatnya.Tawil amat identik dengan hermeneutic.

         Lebih jauh dari sekedar memahami teks dari aspek makna teks itu sendiri, pemahaman atas teks, menurut teori tawil, juga meniscayakan pengetahuan tentang konteks yang menyertai isu itu sendiri dan konteks social, budaya dan politiknya yang melingkupinya. Imam al Syathibi, mengatakan bahwa untuk memahami teks suci al Quran, diperlukan pengetahuan tentang sejumlah kondisi dan konteks, antara lain, bahasa, audiens dan situasi-situasi di luarnya”.Pemahaman atas konteks di luar teks adalah niscaya. Tanpa hal ini kita sama sekali tidak dapat memahami al Quran secara genuine dan komprehensif dan akan kehilangan relevansinya. Ini berbeda dengan teori tafsir. Peristiwa  yang melatarbelakangi munculnya teks dan konteks sosio-historis yang menyertainya tidak terlalu signifikan. Yang utama adalah makna literal teks sendiri.  

        Jika kita menghubungkan teori pembacaan teks ini pada dua aliran di atas, maka jelas sekali bahwa aliran konservatif lebih cenderung mengambil teori pembacaan Tafsir sebagai cara memahami teks-teks agama, sementara aliran progresif memilih sebaliknya. Dari sini pula kita sering mengatakan bahwa aliran konservatif adalah kaum literalis dan tradisionalis, sedangkan aliran progresif adalah kaum rasionalis-liberalis.Kaum konservatif memandang bahwa ketentuan literal dalam teks-teks suci adalah final, sementara kaum progresif menganggap teks mengandung arti yang dinamis dan berproses untuk menjadi secara terus menerus.

IV.      Universal versus Particular
     Sumber-sumber utama Islam pada sisi lain menyediakan dua katagori teks. Yakni teks-teks universal dan teks-teks particular.Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan, untuk semua orang di segala ruang dan waktu.Ia berisi prinsip-prinsip fundamental atau dalam konteks sekarang bisa disebut prinsip-prinsip kemanusiaan universal, sebagaimana antara lain tertuang dalam DUHAM. Al Ghazali (w. 1111 M) menyebut ini dengan istilah “Al Kulliyyat al Khams” (Lima prinsip Universal).Yaitu hifzh al din” (perlindungan terhadap keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al aql (perlindungan atas hak berpikir dan berekspresi), hifzh al nasl/al irdh (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan kehormatandiri) dan hifzh al mal (perlindungan atas hak milik). Contohnya adalah ayat-ayat tentang kebebasan, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabat manusia, penegakan keadilan bagi semua manusia, sikap jujur dan ajaran-ajaran moral yang lain. Para ahli Islam menyebutkan katagori ini sebagai “al-Muhkamat” (ayat-ayat yang kokoh dan tidak dapat diabaikan sama sekali). Al Ghazali menyebutnya sebagai “Maqashid al Syariah”, misi Agama, yang kepadanya seluruh gagasan manusia harus disandarkan.

        Sementara katagori teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks-teks particular muncul sebagai respon atas suatu peristiwa atau kasus.Karena sifatnya yang demikian maka ia selalu terkait dengan konteks tertentu. Oleh karena itulah ia harus dimaknai secara kontekstual. Semua teks-teks hukum adalah particular.Isu-isu tentang kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan oleh laki-laki (wilayah), poligami, kewarisan dan lain-lain adalah isu-isu partikular.Ayat-ayat seperti ini masuk dalam katagori “mutasyabihat”, interpretable, dapat diinterpretasikan, dan oleh karena itu bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda.

      Pandangan mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara teks universal versus teks particular, maka teks partikular membatasi berlakunya teks universal.Teks partikular harus diutamakan.Pandangan ini ditolak keras oleh Imam al Syathibi, seraya mengatakan bahwa “aturan-aturan umum atau hukum universal bersifat pasti dan normative, sedangkan pesan-pesan atau petunjuk-petunjuk khusus bersifat relative.Karena itu, hukum umum dan ketentuan universal harus diutamakan dan diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus (particular).Aturan-atran khusus ini tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan universal”.  
Misalnya, al Quran menyatakan : ”Laki-laki adalah “qawwam” (pemimpin) atas kaum perempuan, disebabkan Allah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki memberikan sebagian nafkahnya”.(Q.S. Al-Nisa,[4:34].
              
     Pada tempat lain Tuhan mengatakan : ”Wahai Manusia, Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling terhormat di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”.(Q.S. Al-Hujurat,[49;13].
              
      Al-Quran [4:34] menjadi dasar utama untuk menjustifikasi otoritas dan sperioritas laki-laki. Sementara Q.S 49:13, menegaskan kesetaraan manusia. Ayat ini bersifat universal.
Menurut Syathibi, ayat tentang kesetaraan manusia bersifat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan. Sedangkan ayat tentang kepimimpinan laki-laki adalah particular, bersifat khusus dan sosiologis, maka ia berlaku kontekstual.

V.          Akhir
       Dari uraian di atas kita setidaknya memperoleh suatu gambaran bahwa respon atau sikap kaum muslimin atas isu-isu gender adalah beragam, meskipun mengacu pada sumber referensi yang sama. Keberagaman pandangan ini muncul dari perbedaan mereka dalam membaca atau memahami teks.Sebagian memahaminya secara tekstual/harfiyah, dan menganggapnya sebagai kebenaran final, tanpa harus mempertimbangkan aspek rasio maupun realitas di luarnya. Sementara pandangan yang lain membaca teks dengan segenap makna terdalamnya, dan holistic, tertama keberadaannya yang tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang melingkupnya. Teks tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan refleksi dari situasi peristiwa kehidupan yang nyata yang senantiasa mengalami proses perubahan dan dinamis. Setiap pendapat pikiran adalah refleksi dari diri yang hidup dari lingkungannya masing-masing.

        Pandangan yang terakhir ini menarik hati saya, dan saya percaya pula bahwa pesan-pesan agama yang ditulis dalam teks-teks keagamaan selalu mengandung tujuan dan ruh kemanusiaan.Tujuan ini dapat dipelajari dan diusahakan untuk diwujudkan.Ia bersifat rasional, dan bukan masalah yang terkait dengan kebenaran scriptural. Dari sini saya ingin menyatakan sekali lagi bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara.Kesetaraan manusia adalah konsekuensi paling bertanggungjawab atas pengakuan Ke-Esaan Tuhan.  Atas dasar ini maka keadilan jender harus ditegakkan.Keadilan adalah bertindak proporsional, dengan memberikan hak kepada siapa saja yang memilikinya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau symbol-simbol primordialnya.Tuhan tidak menilaimu dari wajah dan tubuhmu, melainkan dari hati dan tindakanmu”. 



0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About